Tuesday, March 10, 2015

Si vis Pacem Para Bellum - If you want a peace, prepare to war

Kalimat ini merupakan kalimat yang bisa kita lihat di dalam berbagai cara pandang. Namun ada baiknya kita melihat dari perspektif sejarah terlebih dahulu. Adagio ini diambil dan dipopulerkan oleh seorang Yunani bernama Renatus di dalam bukunya De Re Militari. Buku ini dicatat kira-kira pada abad ke-4 atau ke-5 Masehi. Motto yang dipopulerkan oleh Renatus  sangat memengaruhi banyak sekali pemikiran-pemikiran terkemuka bahkan sampai sekarang, baik secara langsung maupun tidak langsung. Organisasi-organisasi ketentaraaan di Norwegia, sekolah tentara di Afrika Selatan, dan banyak tempat-tempat lainnya menjadikan kalimat ini menjadi sebuah motto yang disematkan di dalam logo mereka. Demi menjaga keamanan sebuah negara (baca: kedamaian), diperlukan sekelompok orang yang siap sedia untuk berperang demi menjaga kedamaian.

Bahkan negara yang tidak memiliki angkatan perangnya saja menyewa tentara negara lain untuk berjaga-jaga jikalau ada hal yang tidak diinginkan. Ada pula negara yang merasa “iba” kepada negara tertentu dan dengan “gratis” memberikan pasukannya untuk membantu mereka di dalam berperang, meskipun saya percaya tidak ada yang gratis di dunia ini (setidaknya untuk saat ini). Dari sisi sejarah maupun sisi militer, peperangan itu menjadi sesuatu yang sangat real.

Ironinya, di dalam kehidupan kerohanian kita, kita menganggap peperangan itu tidak real. Padahal, Tuhan mengatakan peperangan terbesar bukanlah peperangan antara bangsa, namun yang terbesar adalah peperangan antara Tuhan dan Setan. Sebagai orang Kristen kita dijamin menang di dalam Kristus, namun kita seolah hidup mengabaikan hal ini. Kepastian kemenangan kita menjadi satu alasan kita untuk hidup “santai” dan tidak merasa perlu Tuhan. Namun sadarkah kita, kita dimandatkan Tuhan untuk berperang bagi kerajaanNya, dengan berperang melawan diri, melawan dosa-dosa, melawan kuasa jahat yang terus membuat kita dan sesama kita jauh dari dosa?

Wednesday, March 4, 2015

Bersyukur (Being Grateful)

Ayat...
Mazmur 42:6 Mengapa engkau tertekan, hai jiwaku, dan gelisah di dalam diriku? Berharaplah kepada Allah! Sebab aku akan bersyukur lagi kepada-Nya, penolongku dan Allahku! 

Mazmur 42:12 Mengapa engkau tertekan, hai jiwaku, dan mengapa engkau gelisah di dalam diriku? Berharaplah kepada Allah! Sebab aku bersyukur lagi kepada-Nya, penolongku dan Allahku! 

Mazmur 43:5  Mengapa engkau tertekan, hai jiwaku, dan mengapa engkau gelisah di dalam diriku? Berharaplah kepada Allah! Sebab aku bersyukur lagi kepada-Nya, penolongku dan Allahku! 

Introduksi...
Tercatat di Mazmur yang letaknya berdekatan ini, tiga kali diulang pertanyaan yang sama, dan diiringi juga dengan jawaban yang sama pula. Saya melihat ini merupakan sebuah hal yang serius ketika saya merenungkan Mazmur ini. Sebuah kata yang tentunya tidak asing bagi kita, yakni "bersyukur".
Apa itu bersyukur? Mengapa kita bersyukur? Dalam situasi apa kita bersyukur?

Biasanya, setiap orang yang mengulangi kata-katanya nampak lebih serius dari orang-orang yang mengatakannya satu kali. Nuansa ini juga yang saya dapatkan ketika merenungkan ayat-ayat Mazmur di Alkitab. Nampaknya Tuhan serius di dalam hal ini. Ia menginginkan anak-anak-Nya menyimak hal ini dengan serius. 

Definisi yang salah mengenai "bersyukur"....
Saya akan memberikan satu saja contoh kalimat dan kita akan sama-sama melihatnya dari berbagai perspektif (yang tercetak tebal) untuk melihat dimana kesalahannya. Sebelumnya saya harus mengatakan bahwa kesalahan-kesalahan yang dipaparkan di bawah ini merupakan sebuah kesalahan "esensi" atau seringkali kita kenal dengan kesalahan "penekanan". Kesalahan esensi: kesalahan yang terjadi ketika kita menekankan sesuatu hal yang "bukan menjadi esensinya"

1. Kita sering kali menganggap bahwa bersyukur itu sama halnya dengan bergembira.
"Hore! Saya bersyukur karena saya memenangkan lottery!". Hal ini memang tidak serta merta membuat kita harus memandang "ucapan syukur" semacam ini TIDAK pantas. Namun yakinkah Anda bahwa syukur semacam ini merupakan ucapan syukur yang betul-betul mencerminkan "bersyukur" yang tepat?

2. Ucapan syukur itu sering menjadi sebuah "akibat" dari sebuah sebab tertentu.
"Hore! Saya bersyukur karena saya memenangkan lottery!". Kalimatnya sama, namun ada beberapa orang melihat sebatas hubungan sebab-akibat (causality). Saya cukup yakin banyak orang yang bersyukur karena mengalami sesuatu terlebih dahulu.

3. Bersyukur karena kita yang mengalaminya, bukan orang lain.
"Hore! Saya bersyukur karena saya memenangkan lottery!". Ada sebuah kalimat yang terkenal di kalangan orang Romawi Kuno, yaitu "Homo Homini Lupus" yang artinya adalah "manusia adalah serigala bagi manusia lainnya. Seluruh dunia harus menyenangkan kita, kita tidak perduli kepada orang lain, asalkan kita senang maka itulah yang terpenting. Kesalahan fatal dari sifat antroposentris ini membuat kita membuang esensi dari sebuah "Relasi". Relasi antar manusia dibuat sedemikian rupa sehingga menjadi tumpul dan mati. Kita tidak membutuhkan manusia lain, yang kita butuhkan hanyalah kesenangan kita sendiri.

4. Mensyukuri hal yang tidak memiliki prinsip yang berakar.
"Hore! Saya bersyukur karena saya memenangkan lottery!". Siapa sih yang tidak senang jika tidak mendapatkan keuntungan? Siapa yang tidak senang kalau keuntungan itu diperoleh dari hasil yang tidak kita pernah rencanakan sebelumnya? Tidak semua hal yang ada di hadapan kita itu harus kita ambil dan mutlak untuk dimiliki.

Lalu apa solusinya? Bagaimana cara bersyukur yang baik dan benar?
Tidak ada jawaban lain selain Tuhan. Tuhan mengajarkan kita melalui FirmanNya untuk senantiasa bersyukur meskipun kita tertekan, bahkan melalui ayat "Self-counseling" ini juga dibuka bukan dengan kegembiraan, namun dibuka dengan tekanan jiwa yang (saya rasa) kuat juga. Pengharapan akan Allah menjadi jawaban pertama lalu diiringi dengan syukur, syukur karena Allah, Allah-lah menjadi sebab kita untuk bersyukur! KehadiranNya membuat kita senantiasa mensyukuri hidup ini, bukan karena kemudahan-kemudahan yang kita peroleh, namun karena DiriNya Allah sendiri yang menjadi jaminan keselamatan kita. Pertanyaan dan jawaban ini merupakan sebuah pergumulan seumur hidup setiap orang (termasuk saya sendiri). Kesulitan yang dialami tidaklah menjadi sebuah alasan untuk kita tidak bersyukur. Tuhan tidak pernah menjanjikan kemudahan dan kelancaran. Namun Allah menjanjikan diriNya sendiri untuk senantiasa mendampingi kita melintasi kehidupan kita. Bersyukurlah senantiasa!

Selamat bersyukur...