Thursday, December 24, 2015

Christmas Reflection

Sungguh saya bersyukur karena Tuhan telah dengan aktif membentuk dan mengubah cara pandang saya, sepanjang saya hidup, khususnya setelah menerima Kristus sebagai satu-satunya juruselamat yang hidup. Dari berkat, anugerah, dan hukuman yang Tuhan berikan kepada hambaNya sampai sekarang, saya dipacu untuk maju semakin mencintai Tuhan dan FirmanNya.

Pada momen Natal, saya meresponi beberapa hal mengenai hidup saya yang sedang saya gumulkan di dalam kehidupan saya ini, meresponi berkat yang selama ini saya dapatkan dari Tuhan yang lahir, hidup, dan memimpin hidup saya sampai sekarang ini.

Pertama, banyak hal yang menjadikan diriku, sepenuhnya diriku. Merespon kepada hidup di hadapan Allah, merupakan sebuah keindahan tersendiri bagi diriku. Keindahan yang saya dapat bukan hanya karena cara pandang saya yang positif, melainkan pembentukan Tuhan melalui hal-hal yang negative. Saya dibentuk dengan latar belakang yang cenderung netral, jadi positif ada, negative juga ada. Tidak sedikitpandangan-pandangan negative yang membentuk saya, baik dari keluarga, gereja, maupun diri saya sendiri. Namun saya sama sekali tidak keberatan dengan hal itu, bahkan saya sangat bersyukur bahwa Tuhan memberikan rasa “khawatir”, justru untuk membuat saya senantiasa berjaga-jaga. Saya tidak percaya “negative” itu berasal pasti dari Setan. Setan justru seringkali dengan kedok “kesembuhan”, “kekayaan”, “kesehatan”, dan berbagai hal yang terkesan “positif” membuat kita justru menjauh dari Tuhan. Namun Tuhan juga memberikan banyak penghiburan kepada saya melalui hal-hal positif. Bagi saya kedua hal ini Tuhan bisa pakai.

Hal-hal negative diberikan kepada kita, agar kita senantiasa tidak mencoba untuk mencari jalan keluar di luar Tuhan, karena seluruhnya yang ada di luar Tuhan bersifat kekal. Saya tidak akan pernah melihat gaya hidup “positif” menjadi satu-satunya cara hidup yang terbaik. Toh Kristus-pun juga pernah kecewa dan kehilangan harapanNya di atas kayu salib, karena hal-hal negative yang dipikulNya begitu berat. Sampai-sampai Ia berteriak “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?”. Justru disinilah yang menjadi penghiburan orang Kristen. Bahkan di dalam pernikahanpun, jika tujuan pernikahan adalah menikah itu sendiri, kita akan jatuh ke dalam kekecewaan. Di tengah-tengah pandangan negative ini, muncul satu pengharapan, yaitu sebuah pengertian bahwa pernikahan Kristen adalah sebuah “organisasi” terkecil yang dipimpin langsung oleh Tuhan. Saya tidak bermaksud untuk mengatakan “jika saya tempelkan label Kristen, maka semuanya akan baik-baik saja.”

Namun saya memiliki iman demikian: “Kristus adalah Tuhan yang menjadi teladan bagi kita, di dalam seluruh kehidupannya, baik pelayanan maupun penderitaan yang Ia alami. Baik secara positif maupun negative.”

Kedua, Amanat agung (Mat 28:19-20) bisa dilihat di dalam cara pandang yang berbeda-beda. Alkitab diturunkan untuk menjadi pedoman hidup. Namun sebelum menjadi pedoman hidup, pasti ada “langkah-langkah interpretasi” dan pengejawantahan prinsip kebenaran. Teologi menjadi sarana bagi kita untuk menafsir Alkitab. Seluruh kewajiban/ perintah yang Tuhan berikan kepada manusia mutlak harus dikerjakan.
Pertanyaannya:
Dikerjakan bagaimana? Seperti apa bentuknya? Apa yang menjadi tanggung jawab?

Jawaban dari ketiga pertanyaan tersebut pasti akan bervariasi di antara setiap orang, bahkan setiap orang yang di dalam satu gerejapun. Maka hal-hal yang bersifat prinsip (Amanat Agung) harus dilihat secara prinsip (dikerjakan sedetail mungkin di dalam konteks masing-masing), dan hal-hal yang bersifat detail, tidak boleh dijadikan prinsip. Prinsip kebenaran dinyatakan di dalam konteks yang berbeda-beda bagi setiap orang. Tuhan menciptakan manusia berbeda-beda. Tuhan mempercayakan setiap orang talenta yang berbeda-beda baik secara jumlah maupun kemampuan (Mat 25:14-30). Saya yakin jika kita bisa membedakan apa itu “prinsip” dan “detail”, hidup kita akan terlepas dari sifat “hakim-menghakimi”.

Jack Handey mengatakan :
"Before you criticize someone, you should walk a mile in their shoes. That way when you criticize them, you are a mile away from them and you have their shoes.”

Disini saya melihat bagaimana orang Kristen harus menjalankan prinsip “mengasihi sesama seperti mengasihi diri sendiri” di dalam berempati kepada orang lain, seperti Kristus mengasihi manusia, Ia harus mengorbankan diriNya di atas kayu salib. Ini adalah empati terbesar dan teragung sepanjang sejarah. Kedatangan pertama Kristus pada mulanya bukan untuk menghakimi, namun Ia mencari domba yang hilang, dan mengembalikan domba tersebut kepada Bapa di sorga. Baru setelah itu, Kristus datang kedua kali untuk menghakimi seluruh dunia. Apakah kita boleh menghakimi orang/ gereja/ institusi? Boleh, dengan sebuah kerendahan hati dan memiliki motivasi yang murni di hadapan Tuhan.

Ketiga, pelayanan dan job, saya tidak bisa memungkiri bahwa definisi pelayanan dan pekerjaan Alkitabiah dan duniawi berbeda. Buat saya “segala sesuatu yang dikerjakan seperti untuk Tuhan” adalah pelayanan. Pekerjaan adalah bagian dari pelayanan. Paulus membuat tenda, itu merupakan pekerjaan yang dia lakukan untuk mencari nafkah, mencari nafkah juga untuk dipakai di dalam pekerjaan Tuhan (pelayanan). Saya tidak menemukan prinsip Alkitabiah mengenai pelayanan dan job seperti yang dikatakan oleh dunia. Bagi saya, seluruhnya adalah pelayanan. Mungkin tabel di bawah akan memperjelas definisi pelayanan dan pekerjaan yang saya miliki.


Pada akhirnya, tidak ada maksud saya untuk “mengajari”, disini saya memaparkan kebenaran-kebenaran yang membentuk saya dari saya muda sampai sekarang, dan yang akan menjadi pedoman yang akan kukembangkan dan lanjutkan di dalam hidupku ke depan bersama Tuhan. Besar harapanku, agar Saudara/i dapat menerima “perbedaan pendapat” ini, dan menganggap perbedaan ini sebagai enrichment bagi kita bersama, untuk kebaikan kita bersama, dan paling utama kita bersama-sama dimampukan oleh Tuhan untuk meninggikan Tuhan dan memusatkan Kristus di atas seluruh hidup kita, ketimbang menganggap diri kita ini sebagai “pusat”.


Semoga Tuhan yang sama yang menciptakan, menebus, dan memelihara kita, memberikan kita damai sejahtera di dalam menjalankan sisa hidup di depan. Tuhan memberkati.

Sunday, December 13, 2015

Serving and Hearing (1 Samuel 15)

On reading: 1 Sam 15

As a Christians, we tend to think about the dichotomy about serving God and hearing God's Word.
I want to share what I got after I read 1 Samuel 15. The context was taken when Saul thought that he is wise enough to chose his will, when God ask Saul (through Samuel) to destroy all the living beings in Amalek.

Saul thought that he can chose not to obey God's word, and tend to convince God that Saul's option were better than God's.

So do us. We often think that our plan is better than God's everlasting will. The word use to "clean up the Amalekites" in Hebrew is "Haram". The word "Haram" is so familiar in my context living in Indonesia (the world most populous Moslem country in the world). "Haram" means filth, impure, profane.

So many definition of "haram" nowadays. But I'd like to introduce you a Christian point of view of haram. "Haram" is when we try to trim God's divine judgment to us. But as a "smartass" Christians, we'd almost never confess our sin, and try to cover ourselves with "serving".

As the climax of our sinful nature, we may be sound like this: "I served God! I didn't do sin! I don't give what He want, but I give Him what he needs!"

We serve God, and almost always cut of God's word. So much compromises in our life to not obey God's divine judgment to us. We need to re-think what should we do and how should we live, according to His word, without compromise.

Soli Deo Gloria