Saturday, December 29, 2012

"Abusus non tollit usum" = makanan apa itu?!?!

Ada ungkapan Latin yang banyak diukir di dinding dari setiap bangunan pemerintah dan setiap gereja di Amerika. Bunyinya "Abusus non tollit usum", yang artinya adalah "Penggunaan yang salah, tidak akan menghalangi penggunaan yang tepat". Mungkin pembaca lebih mengerti di dalam bahasa inggrisnya yakni "wrong use does not preclude proper use."

Sederhananya begini, standar respon yang seharusnya ada di dalam setiap manusia terhadap penyalahgunaan sesuatu (misalnya sex, gun, and wine) tidak boleh kita lihat sebagai pantangan total yang sangat radikal dan antitesis, tetapi mari kita menaru concern kita kepada penggunaan yang tepat dari ketiga hal tersebut.

Namun apakah kita melihat ungkapan tersebut tidak kontekstual terhadap kebudayaan Indonesia? Saya rasa justru ungkapan Latin tersebut sudah dilupakan oleh orang-orang radikal, khususnya orang-orang beragama yang merasa dirinya paling benar (dan bukannya Indonesia adalah salah satu negara beragama yang terbesar??)

Alkitab mengajarkan kita untuk melihat beberapa hal yang akan saya berikan di bawah dengan berbagai contoh yang "seharusnya" bisa menjelaskan kalimat Latin di atas. 

1. Tentu kita pernah bermusuhan sama orang khan? Apa yang kalian kerjakan?

Jawaban untuk hubungan yang buruk BUKAN untuk memutuskan hubungan tersebut! Melainkan untuk struggle for (memperjuangkan) hubungan yang baik!

2. Tahukah penyakit anorexia atau bulimia dimana wanita merasa dirinya adalah "Manusia yang tergembrot" dan kecenderungannya untuk memuntahkan makanan setelah makan itu gila?

Jawaban untuk diet yang bodoh BUKAN untuk tidak makan sama sekali! Melainkan struggle for pola makan yang baik.

3. Jawaban atas teologi yang buruk bukanlah teologi yang sifatnya indifferent (acuh-tak-acuh)! Melainkan untuk struggle for teologi yang baik.

Terkadang kita seringkali menyalahgunakan "interpretasi" kita di dalam prinsip-prinsip kebenaran (Alkitab) untuk mempertahankan "keegoisan" kita akan suatu "idealisme yang kita sudah cap sebagai sesuatu yang salah".


Misalnya seperti yang saya sebut di atas (sex, gun, wine).
Banyak interpretasi dan jawaban yang selalu (dan akan selalu) simpang siur mengenai ini. Kesimpang-siuran jawaban ini berakar bukan dari sebuah prinsip, namun berakar dari "hyper-interpretation" setiap orang akan prinsip tersebut.

Kapan orang-orang akan mengerti bahwa Musik dan Drama dimulai dari Allah, dan penggunaan wine juga bahkan didukung di dalam Alkitab? Sadarkah kalian bahwa tari-tarian adalah ide yang dimulai dari Tuhan di masa Daud (kecuali Gangnam Style dan Striptease!)?

Roma 12:21
"Janganlah kamu kalah terhadap kejahatan, tetapi kalahkanlah kejahatan dengan kebaikan! "

So? Mari kita sekali lagi melihat akan sebuah ungkapan Latin di atas....

"Abusus non tollit usum"

Seberapa mengertikah kita akan mengerti makna di atas?


Di dalam Teologi Reformed ,kita diajarkan akan beberapa hubungan antara Kristus dan Budaya...
Demikian penjelasan dari R. Niebuhr di dalam "Christ and Culture".

1. Christ against Culture. 
For the exclusive Christian, history is the story of a rising church or Christian culture and a dying pagan civilization.

2. Christ of Culture. 
For the cultural Christian, history is the story of the Spirit’s encounter with nature.

3. Christ above Culture. 
For the synthesist, history is a period of preparation under law, reason, gospel, and church for an ultimate communion of the soul with God.

4. Christ and Culture in Paradox
For the dualist, history is the time of struggle between faith and unbelief, a period between the giving of the promise of life and its fulfillment.

5. Christ Transforming Culture. 
For the conversionist, history is the story of God’s mighty deeds and humanity’s response to them. Conversionists live somewhat less “between the times” and somewhat more in the divine “now” than do the followers listed above. Eternity, to the conversionist, focuses less on the action of God before time or life with God after time, and more on the presence of God in time. Hence the conversionist is more concerned with the divine possibility of a present renewal than with conservation of what has been given in creation or preparing for what will be given in a final redemption.


Sebagai konklusi, saya sekali lagi tidak ingin kita semua terjebak di dalam pemikiran "EITHER OR". Secara simple, saya tidak mau pembaca untuk memihak kepada salah satu ekstrim.
Saya percaya Tuhan menempatkan saya di dalam era yang dimana "Sex, wine, and dance" sudah terkarbit di dalam kebudayaan Indonesia. Maka sayapun percaya bahwa Tuhan menempatkan saya sebagai orang Kristen untuk menawarkan sebuah Jawaban Ultimat, yaitu Alkitab. Tentu kalian tidak akan puas dengan tawaran ini, karena manusia berdosa cenderung untuk menjadi "ekstrim" untuk kepentingan diri.

Sekali lagi, dimanakah kita? Apa yang kita sebenarnya bisa harapkan? Interpretasi yang berdasarkan "culture" yang terkadang bisa menjadi "hyper-interpretation" krn banyaknya "garam-garam" dan "dogma-dogma" yang tidak bermakna? Atau interpretasi yang betul-betul berakar kepada Kristus (Christocentric-interpretation)?

Selamat merenung.

source:
Niebuhr, H. Richard - Christ and Culture
http://adambrind.net/

No comments:

Post a Comment